by : balya malkan
Seperti
yang sudah dijelaskan di bagian awal dari serial artikel “Mengenal
Madzhab-Madzhab Fiqih” ini, bahwa tema besar yang diangkat ialah “Tak Kenal maka tak sayang!”, melihat banyaknya tuduhan miring kepada para imam madzhab dalam metodologi pengambilan hukum yang mereka pakai.
Sayangnya,
yang membenci itu hanya melihat dari satu sisi saja, hanya melihat
dari apa yang ia punya tanpa mau berkenalan dengan siapa yang ia
kritik. Akhirnya kritiknya menjadi justifikasi dan menghakimi.
Nah,
salah satu yang sering disinggung dalam masalah ini ialah madzhab Imam
Abu Hanifah yang dikatakan sering sekali meninggalkan hadits dan
beralih ke ra’yu (logika) dalam bentuk qiyas atau istihsan.
Banyak yang mengkrtik beliau bahwa madzhab Imam Ahl Iraq ini lebih mendahulukan qiyas dibanding
dengan hadits itu sendiri. Padahal qiyas adalah produk ijtihad manusia
yang sangat rawan kesalahan, sedangkan hadits adalah produk suci wahyu
Allah swt kepada Nabi saw.
Tapi, apa benar seorang Imam Abu Hanifah lebih memilih qiyas yang mana itu adalah pekerjaan otak (ra’yu) dibanding mengambil kesimpulan hukum dari hadits Nabi saw?
Imam Abu Hanifah Mendahulukan Ra’yu Dibanding Hadits?
Sebelum
kita menilai yang macama-macam dan tidak jelas arahnya, maka baiknya
dan memang seharusnya kita dengar apa kata Imam Abu Hanifah sendiri
sebagai Imam Madzhab Hanafi dalam mengambil kesimpulan hukum. Apakah
benar seperti yang dituduhkan?
Dalam kitabnya Tarikh Baghdad (13/368), Imam Al-Khathib Al-Baghdadi meriwayatkan perkataan Imam Abu Hanifah dalam metodenya menyimplkan sebuah hukum:
آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم فان لم أجد في
كتاب الله ولا سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذت بقول أصحابه آخذ
بقول من شئت منهم وأدع من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم فأما
إذا انتهى الأمر أو جاء إلى إبراهيم والشعبي وبن سيرين والحسن وعطاء وسعيد
بن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فاجتهد كما اجتهدوا
“Aku
mengambil (hukum) dengan kitab Allah swt (al-Quran), dan apa yang aku
tidak dapati di Al-Quran, aku mengambil dari hadits-hadits Nabi saw.
Kalau aku tidak menemukannya di Al-Quran dan juga tidak di hadits Nabi
saw, aku mengambil dari fatwa (perkataan) para sahabat Nabi saw, aku
mengambil dari mereka yang aku mau, dan aku tingalkan yang aku mau
(memilih), akan tetapi aku tidak keluar dari perkataan mereka kepada
selain mereka (sahabat).
Kalau
dari para sahabat juga aku tidak menemukan, atau perkara ini sampai
pada Ibrahim Al-Nakho’i, SUfyan Al-Tsauri, Al-Sya’bi, Hasan Al-Bashri,
‘Atho, dan Said bin Al-Musayyib dan beberapa orang lain (dari kalangan
tabi’in), maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad!”
Begitu juga dengan redaksi yang sama disebutkan oleh Imam Al-Mizi dalam kitabnya Tahdzib Al-Kamal (29/443). Begitu oleh Imam Ibnu Abdil Barr (463 H) dalam kitabnya Al-Intiqo’ fi Fadhoil Al-Tsalastah Al-Aimmah Al-Fuqoha’ )hal 144).
Dari perkataan sang Imam, bisa disimpulkan bahwa metode penagmbilan hukum madzhab Imam Abu Hanifah adalah:
- Al-Quran
- Hadits
- (Ijma’)
- Perkataan/Fatwa Sahabat
- Qiyas
Ini
tidak seperti yang dituduhkan orang bahwa beliau mendahulukan qiyas
daripada hadits Nabi saw. Terlihat jelas bahwa memang Imam Abu Hanifah
lebih mnedahulukan hadits daripada QIyas itu sendiri yang merupakan
produk ijtihad akal.
Jawaban Atas Tuduhan
Memang dalam pendapat madzhab madzhab Hanafi ini kita akan dapati bahwa sang Imam dalam beberapa masalah memakai qiyas padahal pada perkara tersebut ada hadits-nya.
Dalam masalah ini, bisa dijawab dengan beberapa jawaban:
Pertama: Ketat Dalam Menerima Hadits
Yang
perlu diketahui sejak awal ialah kita harus menerima kenyataan bahwa
pen-statusan sebauh hadits menjadi shahih dan dhaif itu adalah perkara
jtihad juga yang di dalamnya terdapat perbedaan. Pada ulama A hadits ini
bisa dikatakan shahih, namun pada ulama B hadits itu bisa berubah lagi
setatusnya.
Dalam
masalah Imam Abu Hanifah ini, sebagaimana kita singgung sebelumnya
bahwa beliau hidup di masa kerasnya propaganda terhadap hadits sehingga
muncul banyaknya pemalsuan hadits. Karena itu beliau (Imam Abu Hanifah)
sangat ketat sekali dalam menerima hadits. (kecuali hadits mutawatir
yang diriwayatkan dari jalur yang qath’iy)
Hadits-hadits Ahad yang
diterima tidaklah asal terima, semua dicek sehingga tidak meninggalkan
keraguan sedikitpun bahwa ini benar hadits shahih yang bisa dijadikan
dalil.
Imam Al-Sarakhsi (483 H) dalam kitab Ushul-nya menyebutkan beberapa kriteria hadits yang bisa diterima sebagai dalil dalam madzhab Imam Abu Hanifah, diantara:
1. Hadits ahad tidak boleh bertantangan dengan dasar-dasar pokok syariah yang sudah disepakati atau yang ditetapkan dengan jalur qath’iy.
2. Hadits Ahad tidak boleh menyelisih kandungan umum ayat quran.
3. Hadits Ahad tidak boleh menyelisih hadits yang masyhur atau yang diriwayatkan secara mutawatir.
4. Perawi Hadits Ahad tidak
boleh menyelisih apa yang diriwayatkan. Kalau ada hadits yang
perawinya menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits itu menjadi tidak
terpakai dalam hukum.
5. Kalau perkara itu adalah
perkara yang terjaid setiap hari dan semua orang tahu, hadits yang
menjelaskan tentang itu haruslah mutawatir atau masyhur, kalau tidak
maka tidak bisa menjadi dalil.
Apa
yang disyaratkan ini bukanlah perkara yang asal jadi, melainkan
kesemuanya syarat tersebut dibuat dengan alasan yang objektif dan demi
menjaga kemurnian syariah ditengah banyaknya pemalsuan hadits ketika
itu.
Jadi,
ketika ada suatu masalah yang dihadapi oleh sang Imam, beliau lebih
dulu mencari ayat yang membahas ini. jika tidak ada, ia mencari dari
para sahabatnya dan gurunya yang lain apakah ada hadits yang menerangkan
perkara yang sedang dihadapi atau tidak.
kalau
memang ada, maka parameter yang disebutkan di atas itu tadi menjadi
patokan diterima atau tidaknya hadits tersebut. Ketika hadits itu tidak
lolos uji, maka yang dilakukan oleh sang Imam adalah berijtihad.
Kedua: Hadits Shahih Tidak Mesti Jadi Dalil
Dalam
menentukan hukum, seorang mujtahid tidak hanya punya satu buah hadits
di atas meja beliau, melainkan lebih dari satu bahkan puluhan bahkan
juga lebih.
Hadits
yang shahih menurut seorang mujtahid bisa saja tidak dijadikan dalil
sebuah hukum karena alasan tertentu. bisa saja ada hadits yang jalurnya
lebih kuat yang menyelisih, atau juga hadits shahih ini kandungannya
umum da nada hadts lain yang mengkhususkannya. Atau juga bisa jadi
hadits ini sudah di-mansukh oleh hadits lain atau ayat Al-Quran. Jadi banyak kemungkinan.
Nah,
begitu juga yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah, beliau bisa saja
meninggalkan hadits yang dianggap shahih oleh orang lain, tentu karena
sebab yang orang lain tidak mengetahuinya. Dan ini juga kita temui di
imam-imam lain selain Imam Abu Hanifah, bahwa banyak hadits-hadits
shahih yang mereka tinggalkan karena melihat adanya hadits lain yang
mengkhususkannya (takhshis), atau lebih kuat dari segi sanad dan perawinya atau karena hadits itu telah di-mansukh.
Jadi perkara hukum bukanlah perkara hadits saja melainkan bagaimana ber-isitidal
dan menyimpulkan suatu hukum dari banyak hadits yang ada. Ini juga
yang membedakan antara ahli hadits dan ahli fiqih yang berijtihad.
Ini
juga yang menjadi sindiran beliau (Imam Abu Hanifah) kepada mereka
yang hanya mengumpulkan hadits, tapi tidak mengerti maksud hadits
tersebut. Dalam perkataan beliau yang masyhur:
مثل
من يطلب الحديث ولا يتفقه كمثل الصيدلاني يجمع الأدوية ولا يدري لأي داء
هي، حتى يجيء الطبيب .. هكذا طالب الحديث لا يعرف وجه الحديث حتى يجيء
الفقيه
“Perumpamaan
orang yang mencari hadits tapi tidak memahami (maksud hadits tersebut)
itu bagaikan apoteker yang mengumpulkan banyak obat akan tetapi ia
tidak tahu untuk penyakit apa obat itu, sampai datang seorang dokter.
Begitu juga seorang yang mencari hadits, ia tidak mengerti maksud
hadits tersebut sampai datang seorang faqih (Ahli Fiqih)”
Kita tutup pembahasan ini dengan perkatan sheikhul-Islam Ibnu Taimiyah Al-Harani (278 H):
وَمَنْ
ظَنَّ بِأَبِي حَنِيفَةَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ
أَنَّهُمْ يَتَعَمَّدُونَ مُخَالَفَةَالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ لِقِيَاسِ أَوْ
غَيْرِهِ فَقَدْ أَخْطَأَ
“siapa
yang mengaanggap bahwa Imam Abu Hanifah atau Imam lainnya menyengaja
meninggalkan (menyelisih) hadits Nabi saw dan beralih kepada qiyas atau
lainnya, maka ia telah keliru!” (Majmu’ Al-fatawa 20/304)
wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar