BARANGSIAPA MENGANDALKAN ALLAH DIA BENAR KUAT DAN TERCUKUPI
Nabi s.a.w bersabda: “Niat sesaorang mukmin lebih baik dari amal perbuatannya” Oleh sebab itu, niat itu mendapat pahala tanpa amal, sedangkan amal tanpa niat tidak ada pahalanya

Senin, Januari 9

Orang Awam Wajib Taqlid Kepada Ulama

Kira-kira apa yang dipahami seorang yang awam tatkala membaca terjemahan ayat-ayat berikut, khususnya pada potongan ayat berikut ini :
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah. Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” ” (QS. Al An’am: 114).

Bisa jadi seorang awam yang membaca beberapa ayat di atas akan menyimpulkan bahwa, dasar hukum yang berlaku dalam Islam hanyalah Al-Quran semata sebagaimana pemahaman orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW.
“Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.  (QS. An Nahl: 67).

Bisa jadi ia juga akan menyimpulkan bahwa khamer atau minuman yang memambukkan hukumnya adalah halal bahkan merupakan salah satu rezeki yang baik dari Allah. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130).
Bisa juga dia akan menyimpulkan bahwa memakan harta yang dihasilkan dari proses yang riba tidaklah haram jika sedikit dan tidak berlipat ganda.
Padahal, bagi yang sedikit banyak membaca pendapat-pendapat ulama terkait ayat-ayat di atas, dapat memastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan di atas adalah keliru.

A. Instrumen Dalam Memahami Al-Quran
Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an, dibutuhkan banyak instrumen, yaitu berbagai ilmu penunjang. Maksudnya agar kita mendapatkan pemahaman yang benar, sebagaimana diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di antaranya adalah kaedah-kaedah tafsir Al-Quran, asbabunnuzul, ilmu tentang as-saabiq dan al-laahiq, an-nasikh dan al-mansukh, dalalah al-alfadz, al-manthuq dan al-mafhum, al-‘am dan al-khas, al-muqayyad dan al-muthlaq, musthalah al-hadits dan lainnya.
Sebagai satu contoh, terkait ayat ke-114 dari surat Al-An'am. Ayat ini seringkali dipakai (dicomot) oleh orang-orang yang mengingkari sunnah Nabi SAW untuk melegitimasi keyakinan mereka terkait sumber hukum dalam Islam. Dimana mereka mengatakan bahwa hanya Al-Quran sajalah yang dapat menjadi sumber atau standar hukum dalam Islam.
Sedangkan sunnah dan sumber lainnya tidak diperlukan. Alasannya, karena Al-Quran dianggap telah merinci (mufashshal) semua masalah dan tidak memerlukan rincian lainnya.
Padahal jika mereka ingin jujur dan konsisten dalam keyakinannya, mereka pasti akan pula menjadikan Sunnah Nabi sebagai dasar hukum yang juga dilegitimasi oleh Allah SWT dalam banyak ayat Al Qur’an, sebagaimana pula pada ijma’ dan qiyas.
Atau jika mereka menggunakan konsep as-saabiq dan al-laahiq dalam membaca ayat di atas, pastilah kesimpulan mereka bahwa Al Qur’an telah merinci setiap masalah agama bahkan dunia akan terbantahkan dengan sendirinya.
Allah SWT berfirman:
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu  (QS. Al An’am: 111-114).
Berdasarkan konsep as-saabiq (membaca korelasi sebuah ayat dengan ayat sebelumnya), kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Quran yang Allah turunkan dengan terperinci adalah terkait dengan masalah ukhrawi atau masalah ghaib.
Sedangkan untuk masalah-masalah hukum seperti shalat, zakat, haji dan lainnya, Allah tidak menurunkan penjelasannya secara rinci. Allah menugaskan rasul-Nya untuk menjelaskan rincian hukum-hukum tersebut yang selanjutnya diteruskan oleh ulama-ulama yang mewarisi ilmu para rasul.
Allah SWT berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An Nahl: 44).
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (An Nahl: 64).
Di samping itu, tidaklah mungkin terjadi kontradiksi/pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya, sebagaimana ketetapan Allah SWT, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa: 82).
Dalam konteks memahami nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits inilah, akhirnya para ulama menetapkan bahwa wajib seorang yang awam, -yaitu orang-orang yang tidak memiliki kompetensi sebagai mujtahid serta tidak memiliki ilmu-ilmu atau perangkat-perangkat untuk berijtihad-, untuk bertanya dan mengikuti pendapat-pendapat ulama yang mumpuni dan diakui. Atau dalam literatur fiqih disebut dengan taqlid. [1] 
Bukankah dalam perkara dunia saja hal ini merupakan suatu yang lumrah terjadi. Seorang yang sakit umumnya tanpa berpikir panjang akan menuruti saran-saran dokter untuk kesembuhannya. Hal yang sama pun berlaku dalam masalah agama, bahkan dirasa lebih urgen, sebab dimensi agama mencakup dunia dan akhirat.
Yang tentunya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih agar amalan yang dilakukan sesuai dengan koridor yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.

B. Pengertian Taqlid
Secara bahasa kata taqlid (التَّقْلِيدُ) merupakan mashdar dari kata qallada (قَلَّدَ) yang berarti mengikatkan sesuatu dileher seseorang. [2].
Sedangkan secara istilah, setidaknya terdapat dua definisi berbeda terkait pengertian taqlid.

1. Pengertian Pertama
Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqih, yaitu:
قَبُول قَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
“Menerima/mengikuti perkataan orang lain yang (perkataannya) tidak bersifat hujjah.”
Seperti seorang yang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama. Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah SAW atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma’ maka ia bukanlah sebuah taqlid. Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.[3]

2. Pengertian Kedua
الأْخْذُ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عدم مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
“Mengambil perkataan/pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar/dalil dari perkataan tersebut.”
Seperti layaknya seorang awam atau anak kecil yang baru belajar tata cara shalat tanpa ia mengetahui dalil-dalil dari amalan yang ia lakukan.
Definisi ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dan imam Asy Syawkani untuk menetapkan tingkatan ittiba’ antara tingkatan ijtihad dan taqlid. Di mana mereka mengatakan bahwa ittiba’ adalah mengambil pendapat orang lain sembari ia tahu dalil yang mendasari pendapat ini.[4]
Hanya saja menurut penulis definisi yang kedua ini mengandung kelemahan dari beberapa sisi:
Pertama : Pendapat ini diambil oleh minoritas ulama, bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa telah terjadi ijma’ di antara ulama bahwa manusia terbagi dua; mujtahid dan muqallid. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, Abu Hamid Al Ghazali dan imam Al Harawi.
Kedua : Terlepas seseorang mengatahui dalil yang mendasari pendapat seorang mujtahid atau tidak, maka ia pada ada dasarnya tetaplah muqallid (bertaqlid) kepada mujtahid tersebut.
Sebab meskipun ia tahu dalil pendapatnya, tetaplah ia masih tidak mampu untuk menetapkan sebuah dalil atas sebuah masalah yang dihadapi kecuali jika yang bersangkutan telah mencapai derajat mujtahid yang dibuktikan dengan pengetahuannya yang mendalam terhadap perangkat-perangkat ijtihad sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al Ghazali ketika menjelaskan tentang syarat-syarat mujtahid :
“Harus mengetahui lengkap dalil-dalil syar’i (madarik asy syar’) yaitu dengan mengetahui dalil-dalil yang membuahkan hukum dan mengetahui tata cara membuahkannya.
Adapun dalil yang membuahkan hukum ada empat: (1) Al Qur’an (2) As Sunnah (3) Al Ijma’ (4) Akal. Sedangkan tata cara membuahkannya dengan empat ilmu, dua ilmu pokok yaitu (1) ilmu tentang cara menetapkan dalil atas sebuah masalah (ushul fiqih) (2) ilmu bahasa Arab dan nahwu, dan dua ilmu penyempurna yaitu (1) nasikh mansukh (2) ilmu musthalah hadits.” [5]
Ketiga : Atau bisa pula dua definisi di atas disingkronkan (al jam’u wa at tawfiq) dengan menyimpulkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai mujtahid pada masalah yang ia dapat berijtihad di dalamnya dan ia disebut pula sebagai seorang muqallid dalam masalah yang lain. Dan ini adalah maksud dari ucapan ulama, “Sesungguhnya baik ijtihad maupun taqlid bisa saja terbagi-bagi”. [6]
Keempat : Selain itu, jika merujuk kepada definisi pertama bahwa taqlid adalah mengikuti ucapan ulama yang pada dasarnya bukan merupakan hujjah, akan tetapi kita tahu bahwa ulama yang boleh diikuti ucapannya adalah ulama yang mempunyai kapabilitas berijtihad dan kemampuan memamahi dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah secara luas, seperti empat imam mazhab; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Dan kita ber-husnu dzan (berprasangka baik) kepada mereka bahwa pastilah pendapat-pendapat mereka didasari atas sebuah dalil.
Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya mengambil mazhab 4 (dalam menjalankan agama) adalah maslahat yang besar dan berpaling darinya secara keseluruhan adalah bencana yang besar.” [7]
أن هذه المذاهب الأربعة المدونة قد اجتمعت الأمة أو من يعتد به منها على جواز تقليدها إلى يومنا هذا وفي ذلك من المصالح ما لا يخفى لا سيما في هذه الأيام التي قصرت فيها الهمم وأشربت النفوس الهوى وأعجب كل ذي رأي برأيه
“Sesungguhnya empat mazhab yang telah terkodifikasi ini telah disepakati oleh umat akan bolehnya bertaqlid kepada mereka hingga hari ini. sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diragukan lagi, apalagi di saat banyak orang kehilangan semangat (dalam menuntut ilmu), takluknya jiwa oleh hawa nafsu, dan setiap diri merasa ‘ujub (benar sendiri) dengan pendapatnya.

C. Dalil-dalil Wajibnya Bertaqlid kepada Ulama
Dalam kitabnya, Alla Mazhabiyyah, DR. Said Ramadhan Al Buthi menyebutkan sejumlah dalil atas wajibnya seorang yang awam bertaqlid kepada pendapat ulama yang mumpuni.

1. Firman Allah SWT:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43).
Dan sudah menjadi konsensus ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil sebuah masalah untuk ittiba’ (taqlid) kepada orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqih berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2.  Ijma' Ulama
Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulullah SAW berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid).
Dan sudah jelas bahwa agama diambil dari semua shahabat, tetapi mereka ada yang mempunyai kapasitas berijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua shahabat, serta di antaranya juga ada mustafti atau muqallid dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.
Dan seorang shahabat yang menjadi mufti tidak setiap menyebutkan hukum selalu memaparkan dalilnya kepada si penanya.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga mengutus seorang faqih dari kalangan shahabat ke pelbagai daerah yang penduduknya tidak tahu menahu tentang hukum Islam kecuali akidah Islam dan keyakinan rukun-rukunnya saja. Dan kemudian mereka mengikuti apa saja yang difatwakan oleh shahabat tersebut dan mendorong mereka mengikutinya dalam praktik amaliyyah, ibadah, muamalah dan macam ragam urusan halal dan haram.
Imam Ghazali dalam Al-Mustashfa bab taqlid dan meminta fatwa, mengambil dalil akan wajibnya orang awam bertaqlid, ia berkata, “Aku mengambil dalil atas hal tersebut dengan dua jalan, salah satunya adalah ijma’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam dan tidak memerintahkan mereka supaya menggapai derajat ijtihad. Dan hal itu sudah maklum secara pasti serta mutawatir dari ulama dan yang awam dari mereka.”[8]
Al Amidi dalam Al Ihkam berkata, “Adapun dalil ijma’ nya, orang-orang awam di masa shahabat dan tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang menyelisihi, selalu meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikutinya dalam kaitan hukum-hukum syariat. Ulama yang mujtahid tersebut bergegas menjawab hukum tanpa menyebutkan dalilnya, dan faktanya shahabat tidak ingkar dan tidak melarang. Hal itu menjadi ijma’ akan bolehnya orang awam mengikuti mujtahid secara mutlak.” (Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, 2/171).

3. Dalil Akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqih, pilihannya hanya ada dua; antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena ia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi maisyah pastilah akan terbengkalai. Klimaksnya, dunia ini akan rusak. Dan pilihan terakhirlah yang ditempuh, yaitu taqlid.[9]
Sedangkan terkait perkataan emapat imam mazhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak mampu berijtihad dari Al Qur’an dan Al Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. [10]
Wallahua'lam bis asshawab
Catatan Kaki :
[1] Lihat: Ibnu Rusyd Al Hafiid, Adh Dharuri fie Ushul Al Fiqh 1/94, Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustahasfa, h. 382-383.
[2] Raudhah An Nadzir 2/449
[3] Syarh Musallam Ats Tsubut 2/400, Raudhah An Nadzir 2/450
[4] I’lam Al Muwaqqi’in 4/192, 236
[5] Al Musthashfa 1/342-343.
[6] Said Ramadhan Al Buthi, Alla Mazhabiyyah Akhtar Bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah
[7] ‘Iqd Al Jid fi Ahkam Al Ijtihad wa At Taqlid h. 20). Dan beliau berkata dalam kitabnya, Al Inshaf fi Bayan Asbab Al Ikhtilaf, (h. 97
[8] Al Mustashfa 2/385
[9] Alla Mazhabiyyah: Akhar bid’atin Tuhaddid Asy Syariah Al Islamiyyah, h. 70-73, Takhrij Ahadits Al Luma’ h. 348.
[10] Al-Mizan Al-Kubra 1/62

Semua Orang Mengaku Syafiiyah Karena Haditsnya Shahih?

Beberapa orang –entah sejak kapan- sering sekali mengaku kalau pendapat fiqih yang ia pegang itu ialah pendapatnya madzhab al-Syafi’iiyah tapi nyatanya sama sekali pendapat itu kita tidak temukan itu di buku-buku fiqih madzhab Imam al-Syafi’i, sama sekali tidak ada. Akhirnya malah menyalahi pendapat madzhab.
Jadi kalau ditanya tentang pendapatnya tersebut, ia menjawab dengan lugas: “ini pendapat Imam al-Syafi’i, loch!”.
Anehnya, sama sekali ia menyimpulkan pendapatnya tersebut hanya dari sebuah hadits, tanpa melirik bagaimana ushul-fiqh yang berlaku dalam madzhab Imam Muhammad bin Idris ini. ia hanya tahu satu perkataan Imam al-Syafi’i yang masyhur lalu dijadikan sandaran, yaitu:

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“kalau haditsnya shahih, maka ini adalah madzhabku!”
Cuma karena perkataan ini, kalau ia mendapati hadits dan itu derajatnya shahih –menurut dia-, dia langsung menghukum hukum fiqih yang ada dalam hadits itu lalu mengatakan itu adalah pendapat madzhab al-Syaf’iyyah, tanpa peduli bahwa pendapatnya itu menyelisih pendapat resmi madzhab. Toh karena memang ia hanya tahu itu saja, tanpa pernah buka kitab-kitab madzhab al-Syafi’iyyah.  
Tentu ini adalah bentuk kekeliruan dalam memahami perkataan Imam al-Syafi’i. pemahaman seperti ini, ujungnya nanti akan berbuah ‘penghakiman’ terhadap Imam mulia tersebut bahwa beliau ‘keliru’ dan ‘salah’. Wah hebat, bisa menyalahkan Imam! Atau bisa jadi, pengakuannya itu hanya untuk dijadikan ‘tamemng’, agar pendapatnya itu diterima di khalayak, ia menunggang label madzhab al-Syafi’i.

Contoh Kasus
Contohnya begini, yang paling familiar ialah masalah qunut. Pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah qunut subuh itu sunnah muakkad dan masuk dalam kategori sunnah Ab’adh dalam sholat yang kalau tertinggal, diganti dengan sujud sahwi sebelum salam.
Ternyata hadits perihal qunut subuh itu setelah diteliti oleh mereka –yang menyalahkan Imam- itu adalah hadits yang dhaif, karena dhaif maka tidak bisa dipakai, bahkan ada yang mengatakan bid’ah. Lalu karena mengacu pada pemahamannya terhadap perkataan Imam al-Syafi’i secara tekstual itu, ia katakan:
“ini madzhab Imam al-Syafi’i, karena Imam al-Syafi’i bilang madzhabnya itu madzhab hadits yang shahih, sedangkan hadits qunut subuh itu dhaif. Jadi qunut subuh tidak ada. Begini madzhab Imam al-Syafi’i!”
Nah, dari perkataan seperti ini, terlihat ada bentuk justifikasi kesalahan, dan indikasi seakan-akan Imam al-Syafi’i keliru memilih hadits dan tidak piawai memilih mana yang shahih dan mana yang dhaif. Seakan-akan ia mengajari Imam al-Syafi’i. Bagaimana bisa seorang ahli hadits sekelas Imam al-Syafi’i keliru menilai sebuah hadits?
Ini seperti mengajari nelayan bagaimana caranya memegang jaring ikan, atau seperti mengajari montir bagaimana caranya memegang obeng. Jelas pekerjaan yang sia-sia dan sama sekali tidak menghormati yang diajari, plus tidak tahu diri. Nelayan memang kerjaannya di laut dan memegang jaring, tidak mungkin salah. Montir pun demikian.    
Itu yang pertama, yang kedua yaitu supaya ‘dagangannya laku’; menggunakan label madzhab Imam al-Syafi’i saja agar bisa diterima di masyarakat awam. 

Pengukuhan bukan Penyerahan

Sepertinya memang ada kesalahan dalam memahami perkataan Imam al-Syafi’i itu. Semua beranggapan bahwa Imam al-Syafi’i menyerahkan (tafwidh) begitu saja madzhabnya kepada khalayak. Tapi justru ini adalah Pengukuhan dan pernyataan final bahwa segala apa yang beliau fatwakan –dan akhirnya menjadi madzhab-, itu semua disandarkan kepada hadits yang menurut beliau shahih, karena memang beliau juga adalah seorang muhaddits (ahli hadits) yang paham mana hadits cacat dan tidak.
Tidak mungkin seorang imam Mujtahid bukan seorang ahli hadits, tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang mengistinbath sebuah hukum dan dia tidak tahu sumber (al-Quran dan Hadits) yang baik dan buruk.
Dan juga shahih di sini punya arti bahwa ini shahih (sah) untuk dijadikan dalil fiqih. Karena hadits yang derajatnya shahih, tidak serta merta bisa dijadikan dalil hukum karena, karena bisa jadi itu di-naskh atau ada yang mengkhususkannya (takhshish), atau di-ta’wil. Jadi memang ini adalah bentuk pengukuhan atas segala apa yang difatwakan oleh beliau. Bukan penyerahan.   
Menjadi tidak masuk akal kalau ini berarti tafwidh (penyerahan), bagaimana bisa seorang mujtahid malah menyerahkan madzhabnya kepada khalayak yang belum tentu setara kapasitas keilmuannya dengan beliau. Lalu buat apa beliau cape-cape mengumpulkan hasil ijtihadnya kalau ujung-ujungnya beliau serahkan kepada khalayak?
Dan kalau berarti tafwidh, ini juga punya dampak yang negative. Akhirnya, siapa saja yang menemukan hadits dan –menurutnya- itu shahih, ia langsung mengaku-ngaku kalau itu madzhabnya Imam al-Syafi’i. padahal tidak begitu. 

Kalau Haditsnya Shahih, itu Madzhabku!

Jadi memang perkataan Imam al-Syafi’i tidak bisa diartikan secara tekstual begitu saja. Perlu ada pemahaman yang pas sehingga tidak mencederai kapasitas Imam al-Syafi’i sebagai seorang mujtahid mutlak. Dan sebenarnya, kita tidak perlu bersusah payah, karena pernyataan Imam ini sudah dijelaskan oleh salah satu ulama madzhab al-Syafi’iyyah itu sendiri; yaitu Imam al-Nawawi dalam muqadimah kitabnya “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab” (1/63 - 64).
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ: وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَنْ لَهُ رُتْبَةُ الِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَتِهِ أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ: وَشَرْطُهُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ صِحَّتَهُ: وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ مُطَالَعَةِ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ كُلِّهَا وَنَحْوِهَا مِنْ كُتُبِ أَصْحَابِهِ الْآخِذِينَ عَنْهُ
“dan yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i ini maksudnya bukan berarti bahwa setiap orang yang mendapati hadits shahih lalu berkata ‘ini madzhab al-Syafi’i’ dan beramal sesuai zahir (teks)nya. bukan seperti itu! Tapi ini berlaku hanya kepada orang yang kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab ini dengan ketentuan yang sudah disebutkan sebelmunya, atau mendekati derajat mujtahid itu.
Dan syaratnya, ia harus benar-benar tahu –setelah meneliti- bahwa Imam al-Syafi’i tidak tahu hadits itu atau tidak tahu derajat ke-shahihan hadits tersebut. Dan (kemampuan) ini bisa didapatkan bagi mereka yang sudah membaca semua kitab-kitab Imam al-Syafi’i dan kitab-kitab lain dari murid-muridn sang Imam yang mengambil ilmu dari beliau.”
Jadi memang maksud dari perkataan sang Imam tidak bisa diterjemahkan secara tekstual, karena memang maksudnya itu bukan ‘menyerahkan’ (tafwidh) tapi pengukuhan. Kalau memang mau diterjemahkan secara tekstual begitu, mestilah ia orang yang mumpuni dan sudah mencapai derajat mujtahid madzhab. Kalau mujtahid madzhab tidak bleh kecuali dia yang sudah membaca dan menelaah semua kitab-kitab Imam al-Syafi’i beserta kitab murid-murid mereka yang mengambil fiqih dari sang Imam.
Kenapa begitu sulit syaratnya? Imam Nawawi kemudian menjelaskan lagi kenapa syaratnya sangat ketat: 

وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَرَكَ الْعَمَلَ بِظَاهِرِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ رَآهَا وَعَلِمَهَا لَكِنْ قَامَ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى طَعْنٍ فِيهَا أَوْ نَسْخِهَا أَوْ تَخْصِيصِهَا أَوْ تَأْوِيلِهَا أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ

“mereka (ulama al-Syafi’iyyah) mensyaratkan (sulit) seperti itu karena memang Imam al-Syafi’i tidak mengamalkan banyak hadits yang ia dapati dan ia tahu derajat –keshahihannya-, itu karena ada dalil/bukti lain menurut beliau yang mencederai status hadits tersebut, atau –bisa jadi- hadits itu sudah dihapus, atau juga ada dalil lain yang men-takhshish-nya, atau hadits itu maknanya dita’wil (ditafsiri bukan secara tekstua), atau keran sebab lain yang membuat hadits itu tidak bisa diamalkan.”
Paraghraf ini menunjukan bahwa memang Imam al-Syafi’i bukan orang sembarang dan punya kapasitas tinggi dalam starata mujtahid, sehingga semua muridnya sangat percaya bahwa sang Imam tidak lalai. Imam al-Syafi’i tidak mungkin asal dalam memnentuka sebuah hukum, dan beliau tidak hanya bersandar hanya dengan satu hadits, akan tetapi beliau kumpulkan hadits yang ada dan beliau teliti barulah keluar sebuah produk hukum.
Imam an-Nawawi mencontohkan bahwa hadits berbukanya orang yang berbekam itu derajatnya shahih, akan tetapi Imam al-Syafi’i tidak berhukum seperti itu, karena hadits itu walaupun shahih tapi sudah di-nask­ (hapus) dengan hadits lain yang mengatakan sebaliknya.
Jadi, ketika ada hadits shahih tapi tidak diamalkan oleh sang Imam, itu bukan karena sang Imam tidak tahu atau tidak paham, tapi justru ada hadits atau dalil lain yang membuat hadits itu tidak bisa diamalkan seperti perkataan Imam an-Nawawi di atas.
Bahkan Imam an-Nawawi meriwayatkan perkataan Imam Ibnu Khuzaimah (w. 331 H) yang dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada hadits Rasulullah saw dalam masalah halal-haram (hukum syariat) yang tertinggal oleh Imam al-Syafi’i dalam kitab-kitabnya.

Tidak Bisa Menerbangkan Pesawat, Jadi Penumpang Saja
 
Kita tidak bisa asal mengatakan bahwa “ini madzhab syafi’i karena haditsnya shahih”, padahal madzhab al-Syafi’i tidak berkata demikian. Kalau memang mau seperti itu, harus sadar diri dan berkaca:
  • Mujtahidkah kita? sehingga berani mengklaim madzhab syafi’i hanya dengan hadits –yang menurut kita- itu shahih?
  • Atau kalau memang bukan mujtahid, sudah berapa kitab madzhab al-Syafi’i yang kita baca? Sebagaimana syarat yang disebutkan oleh ulama madzhab al-Syafi’i.
Kalau memang hanya belajar dari internet dan ngaji sabtu ahad doiang, ya jangan menunggangi label madzhab al-Syafi’i seperti itu. Merasa rugikah kita kalau kita ber-tawadhu’ saja dan mengatakan:
“hadits ini menurut ulama fulan bin fulan itu derajatnya shahih. Tapi madzhab Imam al-Syafi’i berfatwa sebaliknya. Mungkin hadits menurut Imam al-Syafi’i ini punya cacat yang ulama fulan itu tidak tahu, atau ada dalil lain yang dipakai oleh sang Imam yang membuat hadits tidak bisa diamalkan”.
Tanpa perlu mengaku-ngaku “ini madzhab Imam al-Syafi’I, karena hadits ini shahih!”, ini sama saja mengajarkan pilot bagaimana caranya memegang navigasi. Kalau memang tidak bisa menerbangkan pesawat, ya duduk saja sebagai penumpang.
Wallahu a’lam.    

Selain Madzhab Empat

Sejarah telah mencatat bahwa Mazhab fiqih dalam Islam bukan hanya 4 mazhab seperti yang banyak diketahui oleh orang-orang kebanyakan; yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Lebih dari itu banyak sekali Imam Mujtahid Mutlak yang sederajat dengan para Imam 4 tersebut bahkan lebih pintar dan cerdas. Hanya saja memang banyak beberapa mazhab tersebut sudah tidak diikuti, atau fatwa-fatwa mereka sudah tidak lagi sesuai dengan zaman. Dan yang masyhur sampai hari ini dan masih banyak diikuti oleh mayoritas Muslim di jagad raya ini ya 4 mazhab popular tersebut.
Walaupun ada juga yang sampai sekarang masih mengikuti pendapat selain Imam yang 4 itu dengan jumlah pengikut yang tidak banyak memang, seperti Imam Ibnu Hazm atau juga Imam Abu Ja’far yang dikenal dengan Ja’fariyyah, atau juga Imam Zaid bin Ali dengan madzhab Zaidiyah-nya.

Masa 4 Imam Madzhab
Kalau kita buka kitab sejarah kita akan menemukan beberapa nama besar dalam jajaran Mujtahid Mutlak bidang Fiqih tentunya. Diantaranya Imam Al-Laits bin sa’ad (W 175 H) yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan disebut sebagai Imamnya negeri Mesir.
Dan beliau jugalah Imam yang sangat dikagumi oleh Imam sayfi’i. Bahkan beliau (Imam Syafi'i) mengatakan: “Imam Al-laits lebih cerdas dari Imam Malik”. (Al-A’lam Lil-Zirikli 5/248)
Di Irak semasa dengan Imam Abu HAnifah, ada juga Imam yang masyhur dengan sebutan Amirul-Mukminin Fil-Hadits (Imam Kaum Muslimin dalam Ilmu Hadits), yaitu Imam Sufyan Ats-tsauri (W 161H).
Dan ternyata beliau bukan saja Imam dalam hadits, tetapi ijtihad-ijtihad beliau dalam bidang Ilmu Fiqih juga sangat dijadikan pegangan oleh kebanyakan Ulama sampai hari ini. Bahkan ketaqwaannya sebagai seorang yang Alim menjadi teladan bagi juniornya.
Sempat ditawari memegang kendali politk Kuffah oleh Al-Mansour Al-Abbasi, namun ia menolah dan pada tahun 144 H beliau keluar dari Kuffah untuk menetap di mekkah.
Ada juga nama besar seperti Imam Al-Auza’i (W 157H), sang imam negeri Syam. Fatwa dan ijtihadnya diamalkan hingga ratusan tahun. Bahkan sampai hari ini, pendapat-pendapat beliau selalu menjadi perhatian bagi para ulama.
Dalam kitab “Tarikh Beirut” (sejarah Beirut), sheikh Sholeh bin Yahya mengatakan: “Imam Auza’i adalah orang dengan pangkat tinggi di negeri Syam, bahkan perintah beliau lebih dihormati oleh penduduk Syam dibanding perintah Sultan Syam sendiri”.
Di Kalangan pengikut Imam Abu Hanifah ada nama besar, Imam Abu Yusuf (W 182H), sahabat sekaligus murid Imam Abu hAnifah sendiri. Pedapat dan ijtihadnya banyak dijadikan rujukan bagi para pengikut mazhab hanafiyah sampai hari ini.
Walaupun ia tergolong sebagai Imam yang bermazhab Hanafi, tetapi tidak sedikit fatwa beliau yang justru berbeda dengan Imam Abu Hanifah sendiri. dan beliaulah orang pertama yang menyebarkan mazhab Hanafi, juga beliau lah orang pertama yang menulis Kitab Ushul Fiqih Mazhab Imam Abu Hanifah.
Juga ada nama masyhur dengan sebutan Ahli tafsir karena kitab tafsirnya yang fenomenal “Jami’ul-Bayan fi Ta’wilil-Qur’an”, yaitu Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari (W 310H). Walaupun sebagai Mufassir, beliau juga dikenal sebagai Mujtahid Mutlak ilmu Fiqih, akan tetapi mazhabnya sudah amat sangat jarang sekali kita temui di zaman sekarang.

Sebelum Mazhab 4
Sebelum mazhab 4 yang masyhur itu muncul, ada juga mazhab-mazhab fiqih yang berkembang dari para mujtahid-mujtahid Mutlak zaman tabi’in yang merupakan guru dan sheikh-nya para Imam Mazhab 4 itu tadi. Dan beliau-beliau inilah para alumni yang menyelesaikan pembelajarannya ditangan para Sahabat Nabi Ridhwanullahi ‘Alayhim.
Ada Sa’id bin Al-Musayyib (W 94H) dan Salim bin Abdullan bin Umar (W 106H) di madinah yang banyak mengikuti pendapat kakelnya sayyidina Umar bin Khoththob. Kemudian disusul oleh Al-Zuhri (W 124H) di kota yang sama.
Di Mekkah, ada Atho’ bin Abi Robbah. Ibrahim An-Nakho’i dan Asy-Sya’bi di Kuffah. Thawus bin Kaisan dan juga Makhul dari negeri Syam. Dan masih banyak lagi semisal Ibnu Sirin, Al-aswad, Masruq, dan juga Al-Hasan di negeri Bashrah.
Dan ada Ibul-Hurmuz yang merupakan guru dari Imam Malik, Founder Mazhab Maliki. Ada cerita menarik antara Imam Malik dan Ibnul-Hurmuz sebagaimana diebutkan dalam kitab “Jami’ Bayan AL-‘Ilm Wa Fadhlih” tentang bagaimana ketaqwaan beliau dalam mengajar murid-muridnya termasuk Imam Malik. InsyaAllah kita akan bahas kemudian di forum yang sama.
Kemudian yang banyak dikenal oleh golongan Ahlul-Bait yang hidup jauh sebelum para Imam Mazhab 4, yaitu Imam Zaid bin Ali (W 122H) yang mazhabnya disebut dengan Zaidiyah. Dan Zaidiyah-lah mazhab fiqih yang menjadi mazhabnya Imam As-Shon’ani, pengarang Kitan Subulus-Salam.
Saking cerdasnya, Imam Abu Hanifah memuji cucu dari sayyidina Ali bin Abi Tholib ini dengan mengatakan bahwa “tiada orang yang lebih pintar dari Zaid dizamannya.”

Sebelum Masa Tabi’in
Sebelum para fuqoha’ dan mujtahid-mujtahid dari jajaran Tabi’in muncul terlebih dahulu guru-guru dan sheikh-sheik mereka yang adalah para Sahabat Ridhwanullah ‘Alayhim. Beliau-belau para Sahabat Nabi-lah yang telah menamatkan masa belajarnya langsung dari tangan dan mulut Nabi Muhammad SAW.
Merekalah yang menyaksikan turunnya Al-qur’an, paling tahu tentang Asbab-Nuzul. Meeka yang paling mengerti dengan Makna dan tujuan hadits yang keluar dari perkataan dan perbuatan Nabi SAW. Paling memahami makna da nisi Al-qur’an, serta paling mengerti tentang Dilalah (petunjuk) lafadz syariah.
Siapa yang tidak tahu Kafaqihan Abu Bakr ra, orang pertama yang menggantikan Nabi menjadi Imam sholat ketika Nabi sakit. Kecerdasan Umar bin Khoththob. Kebijakansanaan Ustman bin ‘Affan. Kepintaran Ali bin Abi Tholib. Dan juga Ummul-Mukminin sayyidatuna ‘Aisyah ra.
Ada juga Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas yang terkenal Luwes dalam fatwanya, Ibnu Umar yang terjenal keras dan tegas dalam berfatwa. Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Imam-Imam Sahabat lainnya yang memang patut menjadi panutan dan teladan.

Banyak Belajar, Banyak Referensi = Tidak Jumud
Saya mengajak bagi para pembaca sekalian, terlebih jika kita seorang pengajar, penggiat dakwah dan fiqih, banyak dijadikan penutan dan banyak dijadikan tempat bertanya, penting bagi kita untuk mengetahui pendapat para Imam-Imam besar tersebut. Tidak terbatas hanya pada 4 Imam masyhur.
Fiqih adalah sesuatu yang sangat fleksibel. Dan semua fatwa dan Ijtihad para Imam itu pasti terengaruh dengan kondisi dimana sang Imam menjadi Da’i.
kita tahu betul bahwa Imam syafi’I pun mempunyai 2 Qoul; Qadim (lama) sewaktu masih di Irak dan Jadid (baru) sewaktu di Mesir. Qoul yang dahulu dianggap Rajih pada masa lalu bisa saja jadi Marjuh di zaman sekarang. Dan sebaliknya, qoul yang dianggap Marjuh zaman dahulu bisa saja menjadi Rajih jika diterakan di zaman sekarang.
Mengetahui pendapat-pendapat Imam lain akan membuat kita lebih terbuka. Dan pasti menjauhkan kita dari kesempit

Kenapa Imam Ahmad Punya Banyak Riwayat Fatwa?

Hampir semua Imam madzhab yang masyhur itu tidak pernah menuliskan fatwa-fatwa beliau sendiri, akan tetapi muridnyalah yang kemudian dengan semangat menuntut ilmu mengabadikan fatwa serta ijtihad imam madzhabnya dari korespondensi langsung atau dari apa yang beliau ajarkan dalam majlisnya.
Dari madzhab tertua, seperti Imam Abu Hanifah (150 H) yang madzhabnya ditulis oleh 2 sahabat dan juga muridnya, yaitu Imam Abu Yusuf (182 H), dan juga Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (189 H). atau juga Imam Zaid bin Ali (122 H) yang dituliskan fatwa dan riwayatnya oleh Abu Kholid Amr bin Kholid Al-Wasithy (150 H).
Dan begitu juga seterusnya, sampai pada masanya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (241 H). Dikecualikan madzhab Al-Syaf’iyyah, karena dalam sejarahnya Imam Syafi’i adalah satu-satunya Imam madzhab yang menuliskan masalah-masalah fiqih serta ushul madzhabnya sendiri.
Tapi ada satu yang membedakan dari kesamaan ini adalah bahwa Imam Ahmad, beliau adalah Imam madzhab yang paling banyak riwayatnya dalam satu masalah fiqih. Bahkan dalam satu masalah, ada lebih dari 8 sampai 10 riwayat yang dinisbatkan kepadanya.
Berbeda dengan Imam lainnya yang hanya mempunyai satu riwayat fatwa dalam satu masalah. kalau pun ada, pastilah tidak sampai lebih dari 2 riwayat. Dan ini bukan sesuatu yang aneh lagi bagi para pembelajar litelatur fiqih 4 madzhab.
Lalu kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin satu orang yang sama tapi mempunyai pendapat yang banyak sekali dalam satu masalah? apa Imam Ahmad selalu berganti-ganti fatwa? Atau mungkin ada penyebab lain?
Tentu ini sangat berhubungan erat dengan apa yang dilakukan oleh Imam Ahmad semasa hidupnya dalam menuntut ilmu juga ketika beliau menjadi Imam dan menjadi rujukan masalah-masalah hukum fiqih bagi kaumnya ketika itu.

Imam Ahmad Melarang Muridnya Menulis Fatwa Beliau
Ini adalah sebab utama dimana riwayat Imam Ahmad menjadi sangat banyak dan berbeda-beda dalam satu masalah fiqih, yaitu karena memang beliau sendiri melarang keras muridnya atau siapa yang mnedengarkan pelajarannya untuk menulis apa yang beliau ajarkan.
Imam Ahmad adalah imam madzhab yang terkenal wara’ sekali dalam segala hal, baik muamalahnya dengan orang lain atau juga dalam prosesnya mencari ilmu. Sepanjang hidupnya ia habiskan untuk menuntut ilmu, ilmu hadits khususnya. Beliau berjalan jauh untuk mengambil satu buah hadits langsung dari perawinya.
Dan beliau adalah satu-satunya Imam madzhab yang melarang penulisan kitab apapun selain Al-Quran dan Hadits Nabi saw. Hanya 2 hal itu yang pantas dibukukan, selain keduanya tidak layak untuk mendapat hal yang sama dengan al-Quran dan Hadits utnuk dibukukan. Bahkan beliau juga tidak menulis fatwa gurunya sendiri yaitu Imam Al-Syafi’i.
Dalam Tabaqat Al-Hanabilah, Imam Abu Ya’la (526 H) menceritakan kisahnya Imam Ahmad dengan salah seorang muridnya yang bertanya kepada beliau: “Apakah aku boleh menulis kitab Al-Ra’yu (fatwa mujtahid)?”.
Imam Ahmad menjawab: “Jangan! Cukupkan saja dirimu (menulis) Atsar dan Hadits!”. Muridnya menbalas: “Tapi Imam Ibnu Al-Mubarok menulis itu semua!”. Imam Ahmad menjawab:
إِن ابْن الْمُبَارك لم ينزل من السَّمَاء إِنَّمَا أمرنَا أَن نَأْخُذ الْعلم فَوق
“Ibnu Al-Mubarak tidak turun dari langit. Urusan kita itu hanya mengambil ilmu yang datang dari atas (wahyu)”[1]    
Namun nyatanya, walaupun beliau telah melarang muridnya dan siapapun yang mendengarkannya untuk menulis, setelah beliau meninggal banyak bermunculan kitab-kitab yang isinya adalah fatwa-fatwa beliau (Imam Ahmad) dalam masalah fiqih.
Dalam kitabnya yang membahas khusus tentang Imam Ahmad, Sheikh Muhammad Abu Zahroh mengatakan bahwa masjid Jami’ Baghdad itu selalu dipenuhi ribuan orang ketika Imam Ahmad mengelar kajiannya yang dilakukan setiap sholat Ashar.[2]
Nah, karena banyaknya orang yang mendengarkannya itu, maka wajar banyak yang menuliskan fatwa beliau. Lalu kenapa berbeda?
Bisa jadi satu orang menulis, kemudian yang lain menulis dengan pemahaman yang berbeda dengan yang lain. Dan yang semakin membuat priwayat itu berbeda ialah tidak adanya upaya Verifikasi (Tahqiq) kepada Imam Ahmad langsung tentang apa yang sudah mereka tulis, mungkin saja Imam Ahmad punya maksud lain dari fatwanya.
Tapi siapa yang berani datang kepada Imam Ahmad untuk meminta verifikasi atas apa yang ia tulis? Toh beliau saja malarang untuk ditulis fatwanya. Akhirnya karena tidak ada upaya verifikasi langsung inilah yang membuat banyak riwayat Imam Ahmad dan dari banyaknya itu banyak juga yang saling bertentangan.
Sejatinya satu factor ini sudah cukup untuk mengetahui kenapa banyaknya riwayat fiqih yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang saling berselisih dan saling bertentangan. Yaitu factor larangan beliau kepada murid-muridnya. 

Madzhab Imam Ahmad = Madzhab Ahli Hadits
 
Imam Ahmad adalah seorang perawi hadits, sepanjang hayatnya, beliau habiskan untuk mencari sanad hadits dan mendengarkan langsung matan hadits dari mulut perawi tanpa perantara. jika ia tahu bahwa hadits yang didapatnya itu diriwayatkan oleh seseorang yang masih hidup, beliau tpasti mendatangi orang tersebut walau jauh tempatnya.
Kecintaannya terhadap hadits sudah tidak bisa diukur dengan harta manapun. Beliau menilai tidak ada yang lebih berharga dibanding mencari ilmu yang Rasul saw wariskan. Karena cintanya yang cukup besar ini, madzhab beliau sangat erat sekali hadits.
Jika beliau ditanya suatu masalah, beliau tidak langsung menjawab, akan tetapi mencari hadits yang berkenaa dengan pertanyaan itu. Jika ada, maka beliau cukupnya dengan hadits, jika tidak beliau enggan untuk langsung berfatwa akan tetapi menunggu beberapa hari sampai menemukan hadits. Atau tidak jarang beliau ber-tawaqquf (absen).
Dan tidak jarang juga, fatwa beliau hari ini itu berbeda dengan yang kemarin karena hari ini beliau mendapat hadits dalam masalah yang sama namun berbeda isi kandungan hukumnya denga hadits yang kemarin.
Dalam kitab Al-Musawwadah karangan keluarga Taimiyah (Majdudin, Abdul Halim, Taqiyudin) diceritakan kisah Imam Ahmad yang membuat muridnya bingung karena beliau (Imam Ahmad) ditanya sesuatu namun jawabannya berbeda dengan apa yang ia jawab sebelumnya padahal masalahnya sama. Sang Imam Menjawab:
ليس لنا مثل أبى حنيفة أبو حنيفة كان يقول بالرأى وأنا أنظر فى الحديث فإذا رأيت ما أحسن أو أقوى أخذت به وتركت القول الاول
“Aku tidak seperti Abu Hanifah, Abu Hanifah menjawab dengan ra’yu logika) sedangkan aku melihat hadits. Jika aku mendapati ada yang lebih baik dan lebih kuat, maka aku ambil itu dan aku tinggalkan pendapat yang pertama”. [3]  
Nah, ini juga yang bisa memunculkan adanya perbedaan di antara riwayat Imam Ahmad sendiri dalam masalah-masalah fiqihnya. Bisa jadi fatwa beliau hari ini dalam satu maslaah tertentu yang berbeda denan sebelumnya itu tidak didengar oleh muridnya yang sebelumnya yang sudah menulis fatwa beliau di hari kemarin.
Akhirnya, ada beberapa riwayat Imam Ahmad yang saling bertentangan. Jadi bukan karena Imam Ahmad itu sendiri, melainkan muridnya yang memang hanya mendengar sekali dan tidak tahu bahwa Imam Ahmad sempat merubah fatwanya.

Kitab Rujukan Madzhab Imam Ahmad
Melihat banyaknya riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dalam satu masalah fiqih akhirnya membuat rancu juga bagi para pembelajar fiqih di zaman setelahnya dalam menentukan, mana pendapat Imam Ahmad dan mana yang bukan.
Karena beberapa ulama dari kalangan Al-Hanabilah membuat riwayat-riwayat tersebut menjadi ramping dan membuang beberapa riwayat yang memang tidak sesuai dengan kaidah serta ushul madzhab Al-Hanabilah sendiri. Guna mempermudah mengetahu mana pendapat resmi madzhab dan mana yang bukan.
Di antara ulama yang mem-verifikasi pendapat madzhab Imam Ahmad beserta kitabnya tersebut ialah:
  1. Imam Ibnu Qudamah (620 H), kitabnya Al-Mughni
  2. Imam Al-Mardawi (885 H), kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati al-Rajih Minl-Khilaf
  3. Imam Al-Buhuti (1051 H), kitabnya Kasysyaful-Qina’
Wallahu a’lam

Kenapa Imam Syafii Digelari Pembela Sunnah?


para sejarawan mengatakan bahwa Imam Al-Syafi’i adalah satu-satunya Imam Madzhab yang menyebrakan madzhabnya sendiri. Yaitu ia menyebarkan madzhab sendiri dengan perjalanan-perjalanan yang ia lakukan untuk menuntut ilmu.
Sampai pada satu daereh, beliau memulai studinya dan juga mengajarkan. Terlihat ketika beliau belajar di Hijaz kepada Imam Malik (179 H), lalu mulai menggantikan posisi Imam Malik untuk menjadi pengajar Fiqih di Masjid Nabawi.
Tidak lama berselang, muncul keinginannya untuk mempelajari fiqih Ahl Al-Iraq, yaitu fiqih madzhab-nya Imam Abu Hanifah (150 H). Sampai di Iraq beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari Fiqih Hanafi dari “bapak”[1]-nya, yaitu Imam Muhammad bin Hasan (189 H) yang merupakan murid langsung Imam Abu Hanifah.
Di Baghdad, sang Imam bukan hanya menuntu ilmu dari kedua sahabat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan juga Ya’kub Abu Yusuf (184 H). Beliau juga menyebarkan pendapatnya pribadi dan menuliskannya dengan mendiktekannya kepada salah seorang muridnya di Baghdad, yaitu Ibnu Shobah Al-Za’faroni (259 H).
Setelah Baghdad, beliau mulai lagi rihlah (perjalanan) menuntut ilmu ke Mesir guna mempelajari Fiqih-nya Imam Al-Laits bin Sa’d (175 H), yang merupakan sahabat Imam Malik bin Anas. Di Mesir, beliau juga menyebarkan madzhabnya yang kemudian muridnya Al-Rabi’ bin Sulaiman (270 H) menjadi penulis bagi kitabnya Imam Syafi’i.  
Nah, ketika di Baghdad itulah Imam Syafi’i banyak berdiskusi dengan para ulama madzhab Hanafi, termasuk bapaknya yaitu Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani perihal kehujahan hadits Ahad. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatannya.
Imam Syafi’i Nashiru Sunnah (Pembela Sunnah)
Di sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Nashiru Al-Sunnah (Pembela Sunnah). Apa sebab sehingga Imam Al-Syafi’i digelari sebagai Pembela Sunnah?
Kita harus lihat kembali apa yang dilakukan oleh para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal hadits ahad untuk dijadikan sebagai landasan dalil bagi mereka. Sudah masyhur bahwa madzhab Imam Abu Hanifah sangat ketat sekali menerima sebuah hadits dalam masalah-masalah fiqih madzhab mereka.
Mereka tidak menerima hadits kecuali jika itu diriwayatkan oleh orang banyak, artinya hadits itu haruslah mutawatir. Tidak diriwayatkan hanya satu orang, dengan asumsi bahwa perawi itu bisa saja bohong melihat kondisi sosial dan politik ketika itu.
Kalau pun ada hadits ahad, mereka hanya menerima jika itu diriwayatkan oleh para ulama ulama Iraq yang masyhur dan dipercaya (Tsiqah), yaitu guru-guru mereka, seperti Ibrahin Al-Nakho’i, Hammad bin Sulaiman, atau juga Alqamah.
Karena kriteria yang ketat inilah membuat perbendaharaan hadits kaum muslim ketika itu sangat dikit sekali, sehingga wajar saja akhirnya banyak yang menggunakan ro’yu (logika) dalam memutuskan sebuah hukum perkara, dan itu yang dilakukan oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Nah, ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, beliau mendebati dan membantah semua argument para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal penolakan mereka terhadap hadits Ahad.
Dan argument-argumen Imam Syafi’i ini termaktub dalam kitab ushul-nya, yaitu kitab Al-Risalah. Setidaknya ada 4 argumen sang Imam perihal pembelaannya terhadap kehujahan hadits Ahad di depan Jemaah Imam Abu Hanifah:
  1. Dalam dakwahnya, Nabi saw mengutus sahabat beliau untuk menyebarkan Islam ke pelosok Jazirah yang jumlahnya tidak sampai derajat tawatur[2] bahkan hanya satu orang utusan. Artinya hadits yang disampaikan oleh utusan sahabat itu adalah hadits Ahad. Kalau sedanianya harus dengan hadits mutawatir, pastilah Nabi saw akan mengirim lebih banyak lagi. Tapi Nabi hanya mengirim dalam jumlah yang tidak banyak, bahkan hanya satu orang seperti Muadz yang diutus ke Yaman.
  2. Dalam sejarahnya, Nabi saw memutuskan perkara peradilan pidana dalam hal qishash itu hanya dengan kesaksian 2 orang. Dan 2 orang bukanlah jumlah tawatur, akan tetapi Nabi saw menerima kesaksian mereka.
  3. Dalam haditsnya, Nabi saw memerintahkan bagi siapa yang mendengar hadits darinya untuk disampaikan kepada yang lain walaupun hanya satu orang. Dan beliau memuji mereka yang melakukan hal serupa. Kalau memang hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dalil, pastilah Nabi saw mensyaratkan orang banyak untuk menyamoaikan hadits, karena pastinya banyak hadits-hadits hukum yang disampaikan beliau. Tapi Nabi saw tidak mensyaratkan itu.
  4. Setelah Nabi saw wafat, para sahabt ridhwanullah ‘alaihim juga meriwayatkan hadits dan menyampaikannya ke pelosok negeri dengan jalur seorang diri. Kalau seandainya harus dengan jumlah banyak, pastilah mereka mensyaratkan itu, tapi nyatanya tidak.
Ini adalah di antara Hujjah Imam Syafi’i yang beliau tuliskan dalam kitabnya Al-Risalah (hal. 401), sebagai bentuk pembelaan terhadap hadits Nabi saw sehingga tidak terabaikan.
Al-Risalah Kitab Ushul dan Mushthalah Hadits
Bahkan bukan hanya perihal ihtijaj (menjadikan argument) dengan hadits Ahad saja. Beliau juga menuliskan bagaimana sebuah hadits ahad itu diterima dan dikatakan sah sebagai hadits sehingga bisa dijadikan sandaran dalil.
Yang kalau dalam ilmu musthalah hadits sekarang dikatakan sebagai kriteria penerimaan hadits shahih. Maka tidak heran tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa kitabnya, Al-Risalah ini juga bisa disebut sebagai kitab musthalah hadits, karena di dalamnya mencakup banyak permasalah materi musthlaha hadits, terutama dalam kriteria menerima hadits tersebut.
Berkat upaya beliau inilah, sehingga muslim kembali punya perbendaharaan yang banyak terhadap hadits. Mereka tidak lagi harus menimbang apakah hadits itu diriwayatkan oleh banyak atau sedikit. Yang penting itu diriwayatkan oleg tsiqah dari tsiqah juga, tidak peduli berapa jumlahnya.
Kalau hanya hadits mutawatir yang diterima, pastilah umat muslim sangat sulit sekali mencari pegangan yang bisa dijadikan sandaran dalam ibadah-badaha mereka. Karena bagaimanapun hampir semua ibadah orang muslim itu sandarannya adalah hadits ahad, melihat bahwa hadits mutawatir memang sangat sedikit sekali jumlahnya.
Itu dia kenapa Imam Syafi’i mendapatkan gelar Nashiru Sunnah.
Jadi wajar saja kalau Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) sering mendoakan Imam Syafi’i dan memujinya. Salah satu pujian Imam Ahmad yang masyhur ialah:
كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس
“Imam Syafi’I itu seperti matahri bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi manusia (semua orang membutuhkannya)” (Tarikh Baghdad 2/66)
Wallahu a’lam

Ini Pendapatku, Bukan al-Quran dan Sunnah


Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat, kita pasti akan mendapati para sahabat Nabi saw sangat menjaga sekali agar tidak ada yang namanya pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka mendengar ada orang yang mengaku mempunyai riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung mempercayainya.
Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para sahabat meminta kepastian dan meurujuk kepada Nabi saw tentang kabar yang mereka dengar. Tapi ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka meminta kepastian itu?
Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw, banyak pembenci Islam yang masuk Islam bukan untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran Islam itu sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu ialah melalui jalur pemalsuan hadits. Untuk itu mereka para sahabat sanbgat ketat sekali menerima hadits.
Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti benar dalam menerima, mereka bisa salah menisbatkan kalimat tersebut kepada Nabi saw padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang mana Nabi saw telah mengancam pelakunya dengan neraka.

وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka ketika menceritakan kondisi setelah wafatnya Nabi saw dari sisi periwayatn hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan hukum islam). Salah satu diantara mereka yang detail menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad al-Khudhori Bik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.

Birokrasi Penerimaan Hadits
Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar hadits dari Nabi saw, kecuali setelah melalui beberapa birokrasi yang mereka terapkan.
Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr yang mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada yang datang lalu mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai selesai, sayyidina Abu Bakr telah memberhentikannya sambil menanyakan 2 pertanyaan ini:
“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu yang mendengar ini?)
“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi saksimu di hadits ini?)
Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi atau ada orang lain yang sama-sama mendengar. Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya pengakuan dan belum bisa diterima.
Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib di Kufah. Beliau sadar jarak jauhnya dengan pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak jumlah sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah. Beliau tidak mensyaratkan saksi, karena itu cukup suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin atau sumpah.
Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. Sebenarnya ini juga yang menjadi poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).
Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak di Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah diterima, namun di Madinah malah tidak.

Sayyidina Umar Menolak Hadits
Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab yang mana beliau mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan bahwa wanita yang ditalak tiga (bainunah kubra) itu masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal dari suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.
Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang suami tidak boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika si istri melakukan perzinahan. Artinya walaupun sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat tinggal, dan pemberian tempat tinggal tidak mungkin kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).
Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3 (talak bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan nafkah. Akan tetapi kemudian, fatwa sayyidina Umar ini ditentang oleh salah seorang wanita yang bernama Fatimah binti Qois.
Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan mengatakan bahwa wanita yang ditalak 3 itu tidak punya hak nafkah dan juga tempat tinggal, dengan dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor ke Nabi bahwa suaminya menceraikannya 3 kali dan Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah serta hak tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 27344).
Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian wanita tersebut sambil berkata:
لَا نَدَعُ كِتَابَ رَبِّنَا، وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا، بِقَوْلِ امْرَأَةٍ، لَا أَدْرِي أَصَدَقَتْ، أَمْ كَذَبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah Nabi dengan (mengambil) perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia ingat bisa juga ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)
Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu bukti ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu, sebagaimana kekhawatiran mereka akan kesalahan menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada Nabi saw yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam oleh para ulama    sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-Ushul 3/103)

Penisbatan Ijtihad Fiqih
Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat dalam penisbatan qaul atau perkataan kepada Nabi saw, yang akhirnya membuat mereka sangat ketat karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada ancaman neraka dari nabi saw tersebut merambat kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam masalah hukum (fiqih).
Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah yang memang tidak ada hadits atau ada hadits namun mereka tidak menerimanya, mereka berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka katakan sebagai hasil ijtihadnya, dan itu pendapatnya.
Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah pendapat yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak juga mereka katakan: “ini adalah pendapat yang benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun mereka orang-orang terdekat dengan Nabi saw, orang yang paling paham dengan al-Quran dan Sunnah, mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil ijtihad mereka kepada Allah swt dan rasul-Nya.
Kenapa?
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya emnjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat mengatakan bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur seperti ini:
“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’ sekali. Perkataan sahabat yang seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H), dalam banyak halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر وابن مسعود وغيرهما من الصحابة فيما يفتون فيه باجتهادهم: إن يكن صوابا فمن الله وإن يكن خطأ فهو مني ومن الشيطان والله ورسوله بريئان منه
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah dan Nabi saw. Naudzubillah.

Ijtihad Ulama Madzhab
Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang kemudian diteruskan budayanya oleh para ulama setelahnya, termasuk para imam madzhab dan ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.
Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati bahwa ulama mereka tidak pernah mengatakan: “inilah pendapat yang benar/rojih menurut kitab dan sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru menisbatkan fatwa mereka ke imam mereka sendiri atau ke madzhab mereka.
Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur sekali untuk menunjukkan penisbatan pendapat tersebut kepada madzhab mereka, yakni bahwa ini adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah satunya dan ini yang paling sering, yaitu kata ‘Indana [عندنا] (menurut kami). Mereka tidak mengatakan: ‘inda al-Quran wa sunnah [عند القران والسنة] (menurut Quran dan Sunnah).
Madzhab Hanafi
وَأَمَّا الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ إذَا قَتَلَ مُوَرِّثَهُ لَمْ يُحْرَمْ الْمِيرَاثَ عِنْدَنَا
“dan adapun jika orang gila atau anak kecil membunuh pewarisnya, ia tidak diharamkan mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth 30/48)
Madzhab Maliki
وَالْعِيدُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَوْدِ لِتَكَرُّرِهِ فِي كُلِّ سَنَةٍ وَهُوَ عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud (kembali) karena sering terulang/kembali setiap tahun, dan sholat ini menurut kami hukumnya sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)
Madzhab Al-Syafi’i
في نجاسة الآدمي بالموت: قد ذكرنا أن الأصح عندنا أنه لا ينجس
“dalam kenajisan manusia karena meninggal: sebagaimana yang telah kami sebutkan, bahwa yang benar menurut kami adalah ia tidak najis” (Al-Majmu’ 2/563)
Madzhab Al-Hanabilah
تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي مَالِ الصَّبِيِّ وَالْمَجْنُونِ، بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا.
wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang gila tanpa ada yang menyelisih, menurut kami”  (Al-Inshaf ¾)
Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang memang seperti itu. Bukan karena mereka tidak berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan! Justru mereka lah para ulama yang Allah berikan kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan Sunnah.
Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua. Mereka melakukan itu karena memang khawatir akhirnya mereka berbohong atas Quran dan sunnah. Karena itu lebih selamat (dan memang begitu seharusnya) mereka menisbatkan fatwa dan ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur kalau ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt bukan dirinya sendiri.
jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad dan fatwa mereka kepada diri mereka sendiri, mereka mengatakan: "Ini pendapat yang benar menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan: "ini pendapat yang benar menurut al-Quran dan Sunnah!". khawatir itu penisbatan yang jadi dusta atas nama al-Quran dan Sunnah.
Wallahu a’lam.